Aku Tak Rela Alquran Ponorogo Dibeli Museum Belanda

PONOROGO - Tidak mudah merawat dan mengoleksi barang-barang berusia ratusan tahun. Apalagi jika barang itu berupa kitab-kitab kuno seperti milik Taufik Andika Hidayat.


SALMAN MUHIDDIN
��BARANG iki cocok gawe kowe le,�� kata Taufik yang menirukan perkataan ayahnya. Saat itu Taufik masih mahasiswa. Dia diberi bungkusan kain putih. Isinya tiga kitab kuno bertulisan bahasa Arab.
Yakni, Alquran, nahu, dan fikih. Dia tidak sempat bertanya dari mana Said Wiwik Hidayat, ayahnya, mendapatkan kitab tersebut. Sampai akhirnya ayahnya meninggal pada 1987.
Ayah Taufik adalah wartawan perang dari Kantor Berita Antara. Dia juga dikenal sebagai sejarawan sekaligus pelukis. Banyak barang peninggalan yang diwariskan ke anak-anaknya.
Taufik adalah anak sulung yang mengikuti jejak ayahnya sebagai pelukis dan tertarik pada sejarah. Itu pula yang membuat Taufik mencari informasi lebih dalam tentang tiga kitab itu,
Rasa penasaran mempertemukannya dengan seorang ahli kitab kuno lulusan salah satu universitas di Belanda, Amiq Ahijad.
��Karena dia baru lulus S-3 dari Belanda, saya beri dia kitab itu. Mumpung otaknya masih encer,�� kata alumnus Universitas Brawijaya jurusan ekonomi itu.
Setelah mempelajarinya, Amiq menyimpulkan bahwa kitab itu berasal dari Ponorogo. Keluaran awal abad ke-18. Kesimpulan tersebut diambil karena dia pernah mempelajari kitab serupa.
Pada masa lalu, kitab itu menjadi buku pendamping bagi ustad pondok yang mengajar santrinya. Isinya Alquran, nahu tentang tata bahasa, dan fikih yang mengandung hukum berbagai aspek kehidupan manusia.
Berbekal informasi tersebut, Taufik menyimpulkan bahwa awal abad ke-18 yang dimaksud itu berkisar tahun 1700�1730. Dia menggali informasi dari internet.
��Saya cari di mbah Google. Ternyata pada tahun segitu tepat dengan berdirinya pondok Tegalsari. Padahal, selama belasan tahun saya mengira Alquran ini dari Madura,�� kata Taufik, lalu membetulkan kacamatanya yang melorot.
Saat itu masih 2004. Amiq memberi tahu bahwa kitab tersebut ditawar salah satu museum di Belanda.

��Pokoknya ditawar Rp 120 jutaan. Dengan uang segitu, sudah bisa beli rumah di daerah MERR (middle east ring road, Red),�� kata Taufik, lantas tertawa.
Dia heran karena museum Belanda mau membayar tinggi. Setelah ditelusuri, ternyata di museum itu banyak benda bersejarah dari Indonesia yang dikirim ke Belanda saat zaman penjajahan dulu.
Pria yang pernah bekerja sebagai broker pasar modal itu sempat memikirkan tawaran tersebut. Tapi, saat itu hati kecilnya menolak.
��Saya tidak rela barang bersejarah Indonesia dinikmati bangsa lain. Sebab, ada juga Alquran buatan Indonesia tahun 1400 di sana. Alhamdulillah, saat itu perekonomian saya cukup, jadi tidak saya jual,�� lanjut dia.
Taufik terpaksa berbohong kepada Amiq saat ditanya apakah masih tertarik menjual. Dia mengatakan, Alquran dan kitab lain sudah laku, dibeli orang Indonesia. Padahal, buku itu tersimpan rapi di rumahnya.
Setelah menjelaskan sejarah tiga kitab tersebut, Taufik mengambil kotak berwarna abu-abu. Saat dibuka, tampak tiga kitab. Tebal, tipis, dan tipis. Alquran tampak paling tebal, sekitar 20 sentimeter.
Sedangkan kitab nahu dan fikih tipis, hanya puluhan halaman. Kondisinya sedikit rusak. Ada bagian yang berlubang karena dimakan rayap. Untung, bagian itu hanya di pinggiran.
Kertasnya berwarna kuning kemerahan. Tinta tulisannya masih sangat jelas dibaca. Terdapat tambahan tanda baca atau harakat di Alquran.
Sedangkan dua kitab lain bertulisan huruf Arab gundul. Sampul kitab-kitab itu masih berupa anyaman mirip tikar.
��Memang dahulu tidak ada sampul karton yang bagus-bagus,�� tambah Taufik sambil membuka kitab-kitab tersebut.
Khusus untuk Alquran, Taufik telah mengganti bagian sampulnya. Sebab, saat diberi ayahnya, bagian sampul itu sudah rusak parah dan berjamur.
Agar kerusakan tidak menyebar, dia menggantinya dengan sampul karton berwarna hijau. Tapi, kini dia menyesal telah mengganti sampul itu.
��Padahal, lebih bagus kalau aslinya. Tapi, tak apa lah, daripada rusak semua kena jamur,�� kenangnya sambil mengangguk-angguk.
Karena sudah berusia ratusan tahun, tiga kitab itu sangat rapuh. Namun, Taufik yang memiliki ratusan koleksi barang antik punya cara sendiri untuk menjaganya. Dia memakai bubuk merica atau lada hitam.
��Ditambah kapur barus. Cara itu juga saya pakai untuk melindungi koleksi wayang kulit dari kutu dan rayap,�� paparnya.
Buku-buku tersebut juga harus terhindar dari udara lembap. Kalau sampai terkena udara lembap, buku-buku itu dipastikan berjamur dan hancur.
Karena itu, dia menyimpan kotak berisi tiga kitab tersebut di tempat terbuka di ruang tamu. Sesekali kotak itu dibuka dan dibersihkan secara berkala.
Pada 16 Mei lalu, Taufik bertemu dengan salah seorang sejarawan Universitas Negeri Surabaya Prof Aminudin Kasdi.
Secara kebetulan, keduanya memang tinggal di kompleks perumahan yang sama di Jemursari. Saat itu Kasdi menyuruhnya menemui seseorang di UIN Sunan Ampel Surabaya.
��Beliau membuatkan surat untuk saya kirim. Tapi, saya belum ke sana karena baru pulang dari Jogjakarta,�� ujarnya.
Di dalam tulisan Kasdi, surat itu ditujukan ke Fakultas Adab UIN Sunan Ampel Surabaya. Isinya, Kasdi merekomendasi agar UINSA membeli kitab itu.
Sebab, menurut Kasdi, buku tersebut terbuat dari kertas daluang. Itu adalah kertas yang sama dengan buku kuno Belanda Het Van Gogh Boek.
Rencananya, Taufik memang ingin mencari museum yang berminat dengan tiga kitab itu. Dia akan sangat bangga bila koleksinya tersebut bisa dinikmati masyarakat.
Selain tiga kitab itu, Taufik memiliki banyak koleksi yang tidak kalah unik. Sebagian dia peroleh dari Kediri dan Blitar.
�Di sana istri saya punya perkebunan. Kediri dan Blitar kota tua punya banyak cerita,� ujar suami Mamiek Sukarti Ningsih itu. Saking banyaknya koleksi, tidak semua bisa ditampung di dalam rumah.
Beberapa patung, fosil kerang raksasa, kelereng batu, dan miniatur kereta api diletakkan di teras.
Di dalam rumah ada puluhan lukisan, wayang kulit, fosil sarang tawon, fosil bawang putih, guci dari Tiongkok, piring keramik, kamera era 1900-an, dan ratusan uang kuno.
�Semuanya terkumpul sejak saya SD. Dulu saya suka ikut bapak melakukan penelitian ke situs-situs sejarah,� sambung pria yang pernah berkuliah di Seni Rupa ITB itu.
Dari seluruh barang antik dan kuno tersebut, Taufik membedakan menjadi dua. Pertama, barang kuno dan kedua, barang kuno yang memiliki cerita. Nilai cerita itulah yang tak ternilai.
Bagi dia, itu menjadi jawaban mengapa museum Belanda mau menawar tiga kitab miliknya dengan harga tinggi. Kini masih ada koleksi naskah Jawa kuno yang ditulis di daun lontar. Tak kalah tua dari tiga kitabnya.
info media,

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

0 Response to "Aku Tak Rela Alquran Ponorogo Dibeli Museum Belanda"